Pages

Saturday, December 6, 2014

HEARTBREAKER : Truth

Every heartbreaker has their own reason

Seharusnya Sabtu ini menjadi akhir pekan yang menyenangkan. Seolah sedang berduka, hujan turun, tak kunjung berhenti di luar sana. Didukung oleh awan hitam nan kelabu, Sabtu ini terasa semakin sendu.

Sepasang kekasih hanya bisa terdiam, menyaksikan acara TV yang sama sekali tak menghibur dalam sebuah ruang keluarga yang dingin. Dingin karena cuaca, dingin juga karena mereka yang sedari tadi hanya saling bergelung dalam satu dekapan tanpa berbicara sepatah kata pun.

Si wanita berulang kali menatap kekasihnya, bertanya dalam bahasa mata  apa yang sedang dipikirkan pria itu, namun berulang kali pula pria itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah menghindar.

Wanita itu sadar, dari sorot matanya ada sesuatu yang tak beres dengan kekasihnya karena ia tak pernah seresah itu. 

Pada akhirnya wanita itu berbicara

"Ada apa?"

Pria itu meliriknya, lalu menghela nafas. Sejurus kemudian pria itu mengeratkan pelukannya, lalu menenggelamkan dirinya dalam lautan yang terurai indah sebagai mahkota kecantikan wanita itu. Ia menyesap harum madu yang muncul disetiap helainya. 

Lalu setetes air jatuh dari pelupuk matanya.

Wanita itu tersentak, ketika merasakan ada sesuatu jatuh membasahi rambutnya. Ketika ia menarik dirinya dari pelukan pria itu, ia semakin terkejut, melihat kekasihnya sudah berurai air mata.

"Mengapa? Mengapa kau menangis?" 

Ia menyeka derai air mata yang semakin deras itu. "Ada apa?"

Pria itu malah semakin terisak. Badannya bergetar hebat. Dalam sisa-sisa nafasnya, ia mencoba berkata.

"Aku tidak bisa mencintaimu lagi."

Wanita itu terdiam. Berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. Matanya mengerjap. Bingung. Tak percaya. Berharap apa yang keluar dari mulut kekasihnya itu hanya sebuah gurauan untuk mencairkan suasana.

Namun rasa bersalah yang tergambar jelas dari wajah itu meyakinkannya bahwa pernyataan yang ia dengar barusan mengandung seratus persen keseriusan. 

"Hah?"

Pada akhirnya, hanya itu yang keluar dari bibirnya. Ia tak tau harus bereaksi bagaimana. 

"Aku tak bisa mencintaimu lagi, atau wanita manapun di dunia ini..."

Kalimat itu semkain membingungkannya. Ia benar-benar sudah tersesat jauh demi mencari arti pernyataan yang tiba-tiba diungkapkan di hari Sabtu yang seharusnya menyenangkan ini. Lalu pria itu menambahi lagi dengan pernyataan yang membuatnya harus berpikir lebih keras, bukan untuk menemukan artinya,

namun untuk berusaha menerima dengan akal sehatnya.

"Maafkan aku,"

Pria itu menunduk. Menangis lebih kencang dalam rasa bersalahnya. Salah karena telah menyakiti wanita itu. Salah karena ia telah jujur. 

Salah karena ia mencintai orang lain yang semestinya tak bisa ia cintai.


No comments:

Post a Comment