Pages

Monday, March 21, 2016

The Girl You Remember

Remember me as your great best friend
Remember me as your first person to looked for when you need helps
Remember me as the person who is willing to sacrifice her everything to fulfill your anything
Remember me as the kindest person you ever know
Remember me as the one who always forgive you

Remember me as well...

Cause she is no longer exist. She is dead in everyone eyes, but she's alive in some pure hearts.

Thursday, March 3, 2016

[Fiction] Gravity




Wanita itu menggigit bibirnya. Takut. Resah. Pikirannya tidak karuan. Tak ada satupun huruf yang muncul, padahal ia sudah menatap layar monitor itu sejak tiga jam yang lalu. Otaknya pun sudah ia paksa agar setidaknya dapat memproduksi sedikit inspirasi namun nihil. Lembar kerja pada Microsoft Word itu masih saja putih sedari tadi. Padahal, besok sudah tanggal tiga puluh satu. Itu artinya, ia harus membawa selembar resume rubrik “Body and Mind” yang akan menjadi tema bulan selanjutnya atau boss-nya D akan memaksanya untuk menandatangani surat pernyataan resign hari itu juga.

Ia menghela nafasnya panjang, lalu menoleh ke arah jendela. Hujan turun begitu deras di luar sana. Sisi melankolis dari dalam dirinya langsung membawanya pada kisah-kisah lama yang seharusnya ia lupakan. Wanita itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak tenggelam dalam permainan perasaan itu. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkan komputernya sejenak. A cup of warm chamomile tea will be a good idea, pikirnya. Untuk itu, ia beranjak keluar dari kamarnya.

Ia baru saja menuruni anak tangga terakhir dan hendak berjalan ke arah dapur Bi Giyem, pembantunya, menghentikan langkahnya dengan wajah yang sangat memelas.

“Apa ndak sebaiknya dipersilahkan masuk, to, Non?”
Mata wanita itu langsung tertuju ke arah pintu rumah. Ia dapat mendengar dengan jelas pintu itu diketuk berkali-kali. Pandangannya lalu beralih ke Bi Giyem lagi yang wajahnya kini lebih menunjukkan rasa iba, kontras sekali dengan ekspresi wajahnya yang datar.

Sekali lagi ia menghela nafasnya dengan berat, lalu memutuskan untuk berjalan ke arah pintu itu. 
Untuk sejenak, ia ragu apakah ia harus membuka pintu itu atau tidak. Jika ia membuka pintu itu, mungkin hidupnya akan berubah lagi.

Dengan mengumpulkan segenap keberanian, ia memutuskan untuk membuka pintu itu.

Suara derasnya hujan yang menghempas bumi terdengar begitu keras seiring dengan kehadiran sesosok lelaki yang sudah basah kuyup di hadapannya. Tubuh pria itu menggigil, namun ia masih berusaha untuk berdiri dengan tegap dan menutupi rasa dingin yang hampir membunuhnya. Kedua tangan pria itu terkepal kuat meski kini sedang bergetar hebat. Dengan menemukan sosok wanita itu membukakan pintu baginya, ia merasa ada kehangatan yang mampu membuatnya dapat tersenyum sedikit.

Bagaikan iblis, wanita itu hanya menatapnya lurus tanpa ada ekspresi sedikitpun. Dia memang kejam. Setelah tadi pagi ia mengetahui pria itu telah berada di depan rumahnya, ia meminta Mbok Giyem untuk mengatakan bahwa ia sedang tidak ada di rumah.

Dan juga bodoh.

Bagaimana lelaki itu mempercayai kebohongan kelas terinya jika mobil dan sepatunya ada di depan rumah, terlebih, lelaki itu sempat menemukan sosoknya sedang mengintip dari balik jendela?

“Sekarang apa lagi?”

Alih-alih merasa khawatir dengan keadaan manusia yang sudah ada di ujung kematian akibat kedinginan diguyur hujan, wanita itu justru bertanya dengan dingin.

Kejam, sebut saja ia begitu. Namun apakah kalian semua tau bahwa pria itu jauh lebih kejam darinya? Dinginnya air hujan yang mengguyur tubuhnya selama tiga jam tadi tak sedingin rasanya terabaikan ketika wanita itu tau bahwa hanya pundak lelaki itulah tempat ia bersandar. Dan rasa sakit yang menggerogoti tubuh lelaki yang mulai terasa beku itu tak sesakit ketika wanita itu melihat dengan mata kepalanya sendiri, lelaki yang suka menghilang tiba-tiba itu sedang bersama wanita lain, padahal wanita itu sedang berjuang mati-matian dengan pekerjaannya.

Dan siapa yang lebih kejam, wanita yang membiarkan lelaki itu hampir mati kedinginan, atau lelaki yang hari ini rela mati demi satu kata maaf, memperbaiki kesalahannya dengan memperlakukan wanita itu bak putri raja, menomor satukan kebahagaiaan wanita itu di atas segalanya, lalu pergi begitu saja di kemudian hari, melupakan segalanya, seolah mereka tak pernah saling kenal?

“Just… Give me one more chance…”

Pria itu berbisik dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki setelah semuanya habis demi melawan rasa dingin yang menggerogoti tubuhnya.

Mungkin tak hanya pada lelaki itu, rasa dingin dari derasnya hujan juga telah membekukan seluruh fungsi tubuh wanita itu sehingga ia lupa bagaimana caranya merespon permohonan itu.

“Kumohon,” pinta lelaki itu lagi. “Biar kutebus semua dosaku padamu kali ini. Jika itu semua tak sanggup membuatmu memaafkanku, aku akan pergi dan tak akan mengganggu hidupmu lagi.”

Wanita itu masih diam seribu bahasa, bagaikan manikin yang hidup. Hatinya sudah ingin memeluk lelaki itu dan memaafkan segalanya namun logikanya berusaha keras menahannya. Ia tak boleh lagi jatuh ke lubang yang sama. Sudah cukup air mata yang habis terkuras untuk lelaki itu. Sekarang, sudah saatnya wanita itu mendapatkan kembali senyumnya yang telah lama hilang.

“Pergilah.”

Wanita itu menatap lurus kedua mata yang selalu membuatnya tersesat selama ini. Untuk beberapa saat, keheningan kembali hadir di antara mereka sampai wanita itu memutuskan untuk menutup kembali pintu rumahnya.

Tepat di saat pintu rumahnya tertutup rapat, setitik air mata langsung jatuh membasahi pipinya.
Sakit. Sakit sekali rasanya. Seolah dadanya baru saja dihantam meteorit yang tak terbakar di atmosfer dengan keras.

Perih. Perih sekali rasanya. Seolah kepingan hati yang menusuk luka-luka yang pernah ditinggalkan pria itu di kehidupannya di cabut satu per satu dan membuatnya perlahan berdarah.

Mungkin…

Ia terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa kepingan itu tak akan ada habisnya sehingga ia tak akan tau seberapa lama ia dapat menahan rasa sakitnya.

Dan sekali lagi cinta mengalahkan akal dan logika…

Wanita itu memilih untuk menancapkan kembali kepingan-kepingan hatinya itu pada seluruh luka dalam hidupnya daripada harus berdarah.

“You fool!” umpatnya pada dirinya sendiri sebelum ia beranjak untuk membuka pintu rumahnya lagi dan mengejar lelaki yang kini tengah berjalan pergi menjauh itu.

Dengan erat, wanita itu langsung memeluk punggung lelaki itu. Di bawah hujan yang masih deras mengguyur bumi, wanita itu mencari sebuah jawaban dari pertanyaan yang selalu membelenggunya selama ini,

“Why it’s always you?”

Maybe, just maybe…

You are the greatest allure in the universe

The vortex of the earth

The center of my world

The gravity

That will always keeping me down, no matter how I try to stand up high