Pages

Tuesday, October 14, 2014

HEARTBREAKER : Us

Every heartbreaker has their own reason


"Kau dimana?"

Terselip sedikit kekhawatiran dalam raut wajah itu. Meski sorot matanya terlihat tenang saat memandangi panorama malam di luar sana, paras tampan itu tak bisa memungkiri hatinya gelisah tak karuan. Dentuman musik keras yang ia dengar dari telepon genggamnya memacu jantungnya untuk berdetak tak terkendali. Membuatnya serasa mendapat serangan jantung mendadak.

"Aku tidak bisa mendengarmu. Nanti kutelpon lagi. Dah."

Dalam sekejap, suara tuuuuttt panjang itu langsung menyapanya. Dan dalam sekejap juga, ia membuang ponselnya ke sembarang tempat.

"Sial," umpatnya.
 
Ia mengacak rambutnya frustasi. Kesal dengan itikat baiknya untuk menanyakan keberadaan sosok dalam telepon barusan sebagai bentuk perhatian yang terbaikan. Ia merasa sosok itu baru saja meludahi wajahnya karena memutus sambungan teleponnya

Seperti yang sudah-sudah.

Ini adalah kesekian kalinya perhatian yang ia berikan--yang tentu saja menjatuhkan gengsinya sebagai seorang pria--tak dianggap sama sekali oleh wanita itu.

Padahal, keduanya sudah mengakui bahwa mereka merupakan sepasang kekasih. Tapi nyatanya, wanita itu bahkan tidak pernah ada dalam dekapannya untuk lebih dari satu malam saja. Wanita itu akan meninggalkannya esok hari dan yang lebih brengseknya lagi, ia akan menemukannya dalam dekapan pria lain. 

Selebihnya, wanita itu selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Seperti yang baru saja terjadi. Pesta merupakan nafas hidupnya. Wanita itu tentu akan lebih memilih menjaga 'asupan oksigen'nya daripada janji untuk menghubungi pria itu kembali, bukan?

Bisa mati sesak nafas, dirinya, batin pria itu dan tanpa ia sadari, ia terkekeh sendiri membayangkan bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi. Lalu dalam sekejap, ia menghela nafasnya panjang sekaligus lelah.

Lelah dengan kisah cintanya yang tak jelas ini. 

Ia tak menyangka dirinya dapat bertahan selama dua tahun dalam hubungan yang tak lebih dari sebuah lelucon ini. Cinta, atau apapun yang mereka rasakan, rupanya hanya sebuah permainan tarik ulur yang tinggal menunggu kapan putusnya.

Dan mungkin tak akan lama lagi, pikirnya.

"Apa yang kau pikirkan, sayang?"

Lamunannya terbuyarkan, tatkala sepasang lengan memeluknya dari belakang diiringi sebuah suara lembut yang menyapanya.

Pria itu menggeleng, lalu berbalik dan menatap sosok wanita yang baru saja memeluknya itu. 

"Maaf sudah membangunkanmu,"

Ia membelai paras bak malaikat itu singkat lalu mengecup dahinya. 

"Shall we go to bed?"

Malaikat itu mengangguk senang, mengiyakan ajakannya. "Ayo," balasnya sembari menarik tangan pria itu, menuntunnya ke ranjang untuk menyambung kegiatan malam diantara mereka yang sempat terhenti.

Setelah merebahkan tubuhnya kembali, pria itu tersenyum kecil mengingat apa yang baru saja ia pikirkan mengenai lelucon tentang cinta yang akan segera menerima karmanya ini.

If love was a bird, then we wouldn't have wings
If love was a sky, we'd be blue
If love was a choir, you and I could never sing
'Cause love isn't for me and you
If love was an Oscar, you and I could never win
'Cause we could never act out our parts
If love is the bible, then we are lost in sin
Cause it's not in our hearts

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life
And I'll live mine
Baby you'll do well
And I'll be fine
'Cause we're better off separated

Pria itu geli sendiri, bukan karena kecupan yang menghujami tubuhnya dari wanita yang berada di sisinya, melainkan karena kenyataan bahwa dirinya tak lebih baik dari kekasihnya itu.

Nyatanya ia kini tengah bersama wanita lain yang jelas-jelas bukan kekasihnya.

Mengutip penggalan reffrain dari lagu lawas milik Usher barusan, mungkin ada baiknya ia usai semua ini.

Karena yang ia tau cinta tak seharusnya saling mendustai, tak saling menyakiti seperti ini.


[ HEARTBREAKER : Us ]






No comments:

Post a Comment