Pages

Tuesday, November 5, 2013

TASTE OF BITTERSWEET [Pt.1]



TASTE OF BITTERSWEET

<Renata>


Aku sedang memberi makan ke-15 ikan koki peliharaan Papa dari pinggir kolam ketika aku mendengar kelakar Ray yang membahana dari arah ruang tamu.




Ray itu kakak laki-lakiku, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai putera mahkota keluarga Wirasena sekaligus calon pewaris utama harta kekayaannya Papa. Cih, putra mahkota apanya? Pewaris utama apanya? Bukannya aku menjelek-jelekkan saudara kandungku sendiri, hanya saja aku sedang membicarakan pantas atau tidaknya si Ray itu menyandang status yang ia bangga-banggakan itu. Faktanya, kemarin ia baru saja mendapat surat peringatan untuk segera menyelesaikan skripsinya yang sudah pending selama bertahun-tahun. Kalau saja Papa bukan donatur kampus, dan Ray tidak menggunakan alasan ‘pekerjaan magang’nya, Ray sudah pasti di-D.O dari kampus.

Jelas beda, dong dengan diriku ini.

Aku kuliah di salah satu Universitas terbaik di Melbourne. Karena beasiswa pula. Dan di Melbourne, aku kerja part time loh, setiap summer holiday. Hanya tahun ini saja aku absen part time, itu juga karena Mama yang merengek-rengek aku untuk segera pulang ke Indo.
Jadi, siapa yang seharusnya lebih pantas dinobatkan sebagai pewaris utama? Aku atau Ray?
Hehe… Entah itu Ray atau aku yang jadi pewaris utama kelak, sepertinya aku juga tidak begitu peduli.

Kurasa, sepertinya warisan Papa akan jatuh banyak ke tangan Rebecca, adik perempuanku, keturunan termuda di keluarga ini, sekaligus, keturunan terbaik. Dia adalah anak Mama dan Papa yang selalu berprestasi sejak kecil. Dari SD sampai sekarang SMP, dia selalu mendapatkan ranking 3 teratas. Selain itu, Rebecca juga sering memenangkan berbagai kompetisi, entah itu kompetisi akademik maupun non akademik. Dia tidak pernah absen menjuarai kompetisi biola dan piano. Terakhir, Rebecca menjuarai lomba piano klasik di Praha, tepat disaat Mama seharusnya mengantarkanku ke Melbourne dan tidak jadi. Alhasil, aku survive sendirian di saat-saat awalku kuliah di negeri orang.

Terkadang, aku dan Ray sepemikiran terhadap asumsi bahwa sebenarnya kami ini anak Mama dan Papa atau bukan karena adanya Rebecca ditengah-tengah keluarga kami. Tapi setelah kami menelusuri fakta-fakta untuk memperkuat hipotesa kami itu, kami percaya 100% bahwa kami adalah putra-putri Wirasena. Ray itu wajahnya Papa banget. Kalo aku Mama banget. Sementara Rebecca, dia mendapat gen Mama dan Papa secara seimbang.

Oke, cukup ya tentang keluargaku. Sekarang, giliranku menceritakan tentang hidupku.

Kembali lagi pada tawa Ray yang terdengar jelas sampai telingaku… Rupanya Ray tengah bercanda dengan seseorang yang familiar dalam ingatanku. Samar-samar aku memperhatikan sosok anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi dari Ray yang berjalan ke arahku…  Well, sepertinya aku kenal.

“Yo, Rena!”

Ray memanggilku dari kejauhan dan aku segera menyudahi acara memberi makan ikan koki milik Papa yang sedari tadi kulakukan ini.

Aku sedikit berlari ke arah mereka dan… Yah! Aku ingat sekarang! Itu Aditama, teman main futsalnya Ray waktu SMA. Dulu, Kak Tama—begitu biasa aku memanggilnya, sering nongkrong bareng Ray di gazebo dekat kolam setelah mereka main futsal. Kadang-kadang Kak Tama juga menginap jika acara mengobrol mereka ternyata sudah menghabiskan waktu sampai tengah malam.

“Yo sista! Kamu masih inget sama Tama kan?”

Ray lagi seneng-senengnya niruin gaya orang-orang Negro yang menurut aku ENGGAK BANGET itu, setelah 3 bulan yang lalu Ray nonton konser Snoop Dogg di SG dan katanya dia mendapatkan pecerahan di sana. Demi Arya Wiguna, Ray itu sebenernya tipikal cowok SUHERI (Suka Heibring Sendiri) yang menang tampang doang.

“Masih dong. Kak Tama yang dulu sering ke sini itu kan?” aku menjabat tangan Kak Tama yang tersenyum renyah itu. “Lagi liburan ya Kak?”

FYI, Kak Tama nasibnya sedikit lebih baik dari Ray. Ehm, ralat! Future Plannya yang jauh lebih bagus dari Ray. Dulu waktu SMA Kak Tama pernah bilang kalo setelah lulus dia bakal kuliah di New York, and he did it. Beda dengan Ray yang sampe acara wisuda kelulusan SMA aja belum daftar kuliah dan pada akhirnya, ia terpaksa diterima di universitasnya yang sekarang ini berkat nama besar Papa.

“Wii… Aku udah lulus kali, Ren. Nggak kayak kakakmu ini,” candanya dan langsung mendapat jitakan mesra dikepala dari Ray.

“Gue ini sibuk kerja kali ya. Sibuk ngurusin proyek Papa di sana-sini yang nggak ada berhentinya itu,” sangkal Ray dengan gaya sok, sombong, congkak, dan tinggi hatinya yang nggak pernah berubah.

“Iya, iya, yang pengusaha muda...” sindir Kak Tama. “Atau mahasiswa abadi?”

“Anjir lo, Tam!” Ray menjitak kepala Kak Tama lagi.

Aku disitu hanya bisa tertawa geli saja melihat kelakukan dua sahabat yang sudah cukup lama berpisah itu. Ada lebih dari 5 tahun mungkin, Ray dan Kak Tama nggak ketemu. Kak Tama yang sibuk mengejar impiannya menjadi Engineer di NY, sementara Ray yang riwa-riwi nggak jelas di Fakultas Manajemen dan kantor developernya Papa sebagai seorang kontraktor muda. Untung aja, sejauh ini Ray berhasil dan nggak menghancurkan perusahaan yang sudah dibangun Papa selama puluhan tahun itu.

“JFYI, Sist, this buddy is coming back for getting merried!”

“HAH?!”

Aku sontak terkejut sampai setengah berteriak tidak percaya setelah mendengar pernyataan Ray barusan. Apa?! Kak Tama mau menikah?

“Iya, dia kesini mau nganterin undangan nikahannya. Tauk tuh, udah buru-buru nikah aja. Kalo gue sih, masih pengen menikmati masa muda ya,”

Sekarang giliran Ray yang menyindir Kak Tama. Memang, Kak Tama usianya jauh lebih tua diatas Ray. Kalo denger ceritanya Kak Tama, dulu katanya waktu SMP dia pernah mogok hampir 3 tahun gitu gara-gara hobi game online-nya. Dia bahkan pernah pindah sekolah sampai beberapa kali karena nunggak terus. Tapi, karena dia bisa belajar dari pengalaman, Kak Tama akhirnya belajar mati-matian supaya bisa masuk SMA. Hasilnya, masa SMAnya pun bisa ia lalui dengan mulus dan ia menjadi seorang engineer muda sekarang.

“Dih, kalo nggak kepentok umur, gue juga mau kali, ngebangun karir gue lebih lama lagi,” jelas Kak Tama.

“Emang lo sekarang umur berapa sih?”

“Hampir 34”

“Buset, lo tua ya berarti. Gue aja masih 28—“

“—tapi nggak lulus-lulus. Sama aja, bego!”

Mereka pun saling bercanda lagi.

Aku tidak terlalu menyimak untuk bagian ini. Entah lah. Aku sedang merasakan suatu tamparan keras yang menyadarkanku bahwa penantianku selama ini sia-sia belaka

He’s getting married. The one that I love for sooooo long time, is going to leave and won’t ever coming back.

Kak Tama nggak akan pernah tau kalo sebenernya, sejak dulu aku suka sama dia. Tapi karena waktu itu aku masih remaja picisan, aku nggak berani bilang ke dia tentang perasaanku. Waktu dulu kita pernah jalan berdua aja, nonton, dan hang out, aku cuma bisa diam.

I was so young back then. I didn’t know what to do. I was just scare if I did something to attract him, I will lost my self.

And stupidly, I keep all those cheesy—teenager—feeling until now.

I did waiting for him. Aku nunggu saat dimana Kak Tama balik lagi ke Indo dan aku punya lebih banyak waktu untuk mendekatinya dan mengatakan bahwa aku menyukainya.

But I was too late.

Kak Tama sebentar lagi akan menikah. Dan undangan di tangan Ray itu buktinya, kalo Kak Tama jelas-jelas sudah memiliki tambatan hati yang lain.

How can I deserve it?


TBC




Hi, People! This is your devilish sister is back! I'm writing for my very first fiction since I've written so many fanfictions before (which I used to deal with Kpop, Siwon, and any Korean stuff), now I change my style.

What do you think about this fiction?

How's your opinion?

Please, kindly tell me your opinion about this story by comment down below or talk to me on FB/twitter so that I can do much better on the next part.

Add me on FB:

Follow me on twitter:


I'll see you on the next part. Bye!

XOXO,
C

No comments:

Post a Comment