TASTE OF BITTERSWEET
<Renata>
Aku sedang memberi makan ke-15 ikan koki peliharaan Papa
dari pinggir kolam ketika aku mendengar kelakar Ray yang membahana dari arah
ruang tamu.
Ray itu kakak laki-lakiku, yang mengangkat dirinya sendiri sebagai
putera mahkota keluarga Wirasena sekaligus calon pewaris utama harta
kekayaannya Papa. Cih, putra mahkota apanya? Pewaris utama apanya? Bukannya aku
menjelek-jelekkan saudara kandungku sendiri, hanya saja aku sedang membicarakan
pantas atau tidaknya si Ray itu menyandang status yang ia bangga-banggakan itu.
Faktanya, kemarin ia baru saja mendapat surat peringatan untuk segera
menyelesaikan skripsinya yang sudah pending
selama bertahun-tahun. Kalau saja Papa bukan donatur kampus, dan Ray tidak
menggunakan alasan ‘pekerjaan magang’nya, Ray sudah pasti di-D.O dari kampus.
Jelas beda, dong dengan diriku ini.
Aku kuliah di salah satu Universitas terbaik di Melbourne.
Karena beasiswa pula. Dan di Melbourne, aku kerja part time loh, setiap summer holiday. Hanya tahun ini saja aku
absen part time, itu juga karena Mama
yang merengek-rengek aku untuk segera pulang ke Indo.
Jadi, siapa yang seharusnya lebih pantas dinobatkan sebagai
pewaris utama? Aku atau Ray?
Hehe… Entah itu Ray atau aku yang jadi pewaris utama kelak,
sepertinya aku juga tidak begitu peduli.
Kurasa, sepertinya warisan Papa akan jatuh banyak ke tangan
Rebecca, adik perempuanku, keturunan termuda di keluarga ini, sekaligus,
keturunan terbaik. Dia adalah anak Mama dan Papa yang selalu berprestasi sejak
kecil. Dari SD sampai sekarang SMP, dia selalu mendapatkan ranking 3 teratas.
Selain itu, Rebecca juga sering memenangkan berbagai kompetisi, entah itu
kompetisi akademik maupun non akademik. Dia tidak pernah absen menjuarai
kompetisi biola dan piano. Terakhir, Rebecca menjuarai lomba piano klasik di
Praha, tepat disaat Mama seharusnya mengantarkanku ke Melbourne dan tidak jadi.
Alhasil, aku survive sendirian di
saat-saat awalku kuliah di negeri orang.
Terkadang, aku dan Ray sepemikiran terhadap asumsi bahwa
sebenarnya kami ini anak Mama dan Papa atau bukan karena adanya Rebecca
ditengah-tengah keluarga kami. Tapi setelah kami menelusuri fakta-fakta untuk
memperkuat hipotesa kami itu, kami percaya 100% bahwa kami adalah putra-putri
Wirasena. Ray itu wajahnya Papa banget. Kalo aku Mama banget. Sementara
Rebecca, dia mendapat gen Mama dan Papa secara seimbang.
Oke, cukup ya tentang keluargaku. Sekarang, giliranku
menceritakan tentang hidupku.
Kembali lagi pada tawa Ray yang terdengar jelas sampai
telingaku… Rupanya Ray tengah bercanda dengan seseorang yang familiar dalam
ingatanku. Samar-samar aku memperhatikan sosok anak laki-laki yang sedikit
lebih tinggi dari Ray yang berjalan ke arahku…
Well, sepertinya aku kenal.
“Yo, Rena!”
Ray memanggilku dari kejauhan dan aku segera menyudahi acara
memberi makan ikan koki milik Papa yang sedari tadi kulakukan ini.
Aku sedikit berlari ke arah mereka dan… Yah! Aku ingat
sekarang! Itu Aditama, teman main futsalnya Ray waktu SMA. Dulu, Kak Tama—begitu
biasa aku memanggilnya, sering nongkrong bareng Ray di gazebo dekat kolam
setelah mereka main futsal. Kadang-kadang Kak Tama juga menginap jika acara
mengobrol mereka ternyata sudah menghabiskan waktu sampai tengah malam.
“Yo sista! Kamu
masih inget sama Tama kan?”
Ray lagi seneng-senengnya niruin gaya orang-orang Negro yang
menurut aku ENGGAK BANGET itu, setelah 3 bulan yang lalu Ray nonton konser Snoop Dogg di SG dan katanya dia mendapatkan pecerahan di sana. Demi Arya Wiguna,
Ray itu sebenernya tipikal cowok SUHERI (Suka Heibring Sendiri) yang menang
tampang doang.
“Masih dong. Kak Tama yang dulu sering ke sini itu kan?” aku
menjabat tangan Kak Tama yang tersenyum renyah itu. “Lagi liburan ya Kak?”
FYI, Kak Tama
nasibnya sedikit lebih baik dari Ray. Ehm,
ralat! Future Plannya yang jauh lebih
bagus dari Ray. Dulu waktu SMA Kak Tama pernah bilang kalo setelah lulus dia
bakal kuliah di New York, and he did it.
Beda dengan Ray yang sampe acara wisuda kelulusan SMA aja belum daftar kuliah
dan pada akhirnya, ia terpaksa diterima di universitasnya yang sekarang ini
berkat nama besar Papa.
“Wii… Aku udah lulus kali, Ren. Nggak kayak kakakmu ini,”
candanya dan langsung mendapat jitakan mesra dikepala dari Ray.
“Gue ini sibuk kerja kali ya. Sibuk ngurusin proyek Papa di
sana-sini yang nggak ada berhentinya itu,” sangkal Ray dengan gaya sok,
sombong, congkak, dan tinggi hatinya yang nggak pernah berubah.
“Iya, iya, yang pengusaha muda...” sindir Kak Tama. “Atau
mahasiswa abadi?”
“Anjir lo, Tam!” Ray menjitak kepala Kak Tama lagi.
Aku disitu hanya bisa tertawa geli saja melihat kelakukan
dua sahabat yang sudah cukup lama berpisah itu. Ada lebih dari 5 tahun mungkin,
Ray dan Kak Tama nggak ketemu. Kak Tama yang sibuk mengejar impiannya menjadi
Engineer di NY, sementara Ray yang riwa-riwi nggak jelas di Fakultas Manajemen
dan kantor developernya Papa sebagai seorang kontraktor muda. Untung aja,
sejauh ini Ray berhasil dan nggak menghancurkan perusahaan yang sudah dibangun
Papa selama puluhan tahun itu.
“JFYI, Sist, this buddy
is coming back for getting merried!”
“HAH?!”
Aku sontak terkejut sampai setengah berteriak tidak percaya
setelah mendengar pernyataan Ray barusan. Apa?! Kak Tama mau menikah?
“Iya, dia kesini mau nganterin undangan nikahannya. Tauk
tuh, udah buru-buru nikah aja. Kalo gue sih, masih pengen menikmati masa muda
ya,”
Sekarang giliran Ray yang menyindir Kak Tama. Memang, Kak
Tama usianya jauh lebih tua diatas Ray. Kalo denger ceritanya Kak Tama, dulu
katanya waktu SMP dia pernah mogok hampir 3 tahun gitu gara-gara hobi game online-nya. Dia bahkan pernah pindah
sekolah sampai beberapa kali karena nunggak terus. Tapi, karena dia bisa
belajar dari pengalaman, Kak Tama akhirnya belajar mati-matian supaya bisa
masuk SMA. Hasilnya, masa SMAnya pun bisa ia lalui dengan mulus dan ia menjadi
seorang engineer muda sekarang.
“Dih, kalo nggak kepentok umur, gue juga mau kali, ngebangun
karir gue lebih lama lagi,” jelas Kak Tama.
“Emang lo sekarang umur berapa sih?”
“Hampir 34”
“Buset, lo tua ya berarti. Gue aja masih 28—“
“—tapi nggak lulus-lulus. Sama aja, bego!”
Mereka pun saling bercanda lagi.
Aku tidak terlalu menyimak untuk bagian ini. Entah lah. Aku
sedang merasakan suatu tamparan keras yang menyadarkanku bahwa penantianku
selama ini sia-sia belaka
He’s getting married.
The one that I love for sooooo long time, is going to leave and won’t ever
coming back.
Kak Tama nggak akan pernah tau kalo sebenernya, sejak dulu
aku suka sama dia. Tapi karena waktu itu aku masih remaja picisan, aku nggak
berani bilang ke dia tentang perasaanku. Waktu dulu kita pernah jalan berdua
aja, nonton, dan hang out, aku cuma
bisa diam.
I was so young back
then. I didn’t know what to do. I was just scare if I did something to attract him,
I will lost my self.
And stupidly, I keep
all those cheesy—teenager—feeling until now.
I did waiting for him.
Aku nunggu saat dimana Kak Tama balik lagi ke Indo dan aku punya lebih banyak
waktu untuk mendekatinya dan mengatakan bahwa aku menyukainya.
But I was too late.
Kak Tama sebentar lagi akan menikah. Dan undangan di tangan
Ray itu buktinya, kalo Kak Tama jelas-jelas sudah memiliki tambatan hati yang
lain.
How can I deserve it?
TBC
Hi, People! This is your devilish sister is back! I'm writing for my very first fiction since I've written so many fanfictions before (which I used to deal with Kpop, Siwon, and any Korean stuff), now I change my style.
What do you think about this fiction?
How's your opinion?
Please, kindly tell me your opinion about this story by comment down below or talk to me on FB/twitter so that I can do much better on the next part.
Add me on FB:
Follow me on twitter:
I'll see you on the next part. Bye!
XOXO,
C
No comments:
Post a Comment