Wanita itu menggigit bibirnya. Takut. Resah. Pikirannya tidak karuan.
Tak ada satupun huruf yang muncul, padahal ia sudah menatap layar monitor itu
sejak tiga jam yang lalu. Otaknya pun sudah ia paksa agar setidaknya dapat
memproduksi sedikit inspirasi namun nihil. Lembar kerja pada Microsoft Word itu
masih saja putih sedari tadi. Padahal, besok sudah tanggal tiga puluh satu. Itu
artinya, ia harus membawa selembar resume
rubrik “Body and Mind” yang akan menjadi tema bulan selanjutnya atau boss-nya D akan memaksanya untuk
menandatangani surat pernyataan resign
hari itu juga.
Ia menghela nafasnya panjang, lalu menoleh ke arah jendela. Hujan turun
begitu deras di luar sana. Sisi melankolis dari dalam dirinya langsung
membawanya pada kisah-kisah lama yang seharusnya ia lupakan. Wanita itu
langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha keras untuk menahan dirinya
agar tidak tenggelam dalam permainan perasaan itu. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkan
komputernya sejenak. A cup of warm chamomile tea will be a good idea,
pikirnya. Untuk itu, ia beranjak keluar dari kamarnya.
Ia baru saja menuruni anak tangga terakhir dan hendak berjalan ke arah
dapur Bi Giyem, pembantunya, menghentikan langkahnya dengan wajah yang sangat
memelas.
“Apa ndak sebaiknya dipersilahkan
masuk, to, Non?”
Mata wanita itu langsung tertuju ke arah pintu rumah. Ia dapat mendengar
dengan jelas pintu itu diketuk berkali-kali. Pandangannya lalu beralih ke Bi
Giyem lagi yang wajahnya kini lebih menunjukkan rasa iba, kontras sekali dengan
ekspresi wajahnya yang datar.
Sekali lagi ia menghela nafasnya dengan berat, lalu memutuskan untuk
berjalan ke arah pintu itu.
Untuk sejenak, ia ragu apakah ia harus membuka
pintu itu atau tidak. Jika ia membuka pintu itu, mungkin hidupnya akan berubah
lagi.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, ia memutuskan untuk membuka
pintu itu.
Suara derasnya hujan yang menghempas bumi terdengar begitu keras seiring
dengan kehadiran sesosok lelaki yang sudah basah kuyup di hadapannya. Tubuh
pria itu menggigil, namun ia masih berusaha untuk berdiri dengan tegap dan
menutupi rasa dingin yang hampir membunuhnya. Kedua tangan pria itu terkepal
kuat meski kini sedang bergetar hebat. Dengan menemukan sosok wanita itu
membukakan pintu baginya, ia merasa ada kehangatan yang mampu membuatnya dapat
tersenyum sedikit.
Bagaikan iblis, wanita itu hanya menatapnya lurus tanpa ada ekspresi
sedikitpun. Dia memang kejam. Setelah tadi pagi ia mengetahui pria itu telah
berada di depan rumahnya, ia meminta Mbok Giyem untuk mengatakan bahwa ia
sedang tidak ada di rumah.
Dan juga bodoh.
Bagaimana lelaki itu mempercayai kebohongan kelas terinya jika mobil dan
sepatunya ada di depan rumah, terlebih, lelaki itu sempat menemukan sosoknya
sedang mengintip dari balik jendela?
“Sekarang apa lagi?”
Alih-alih merasa khawatir dengan keadaan manusia yang sudah ada di ujung
kematian akibat kedinginan diguyur hujan, wanita itu justru bertanya dengan
dingin.
Kejam, sebut saja ia begitu. Namun apakah kalian semua tau bahwa pria
itu jauh lebih kejam darinya? Dinginnya air hujan yang mengguyur tubuhnya
selama tiga jam tadi tak sedingin rasanya terabaikan ketika wanita itu tau
bahwa hanya pundak lelaki itulah tempat ia bersandar. Dan rasa sakit yang
menggerogoti tubuh lelaki yang mulai terasa beku itu tak sesakit ketika wanita
itu melihat dengan mata kepalanya sendiri, lelaki yang suka menghilang
tiba-tiba itu sedang bersama wanita lain, padahal wanita itu sedang berjuang
mati-matian dengan pekerjaannya.
Dan siapa yang lebih kejam, wanita yang membiarkan lelaki itu hampir
mati kedinginan, atau lelaki yang hari ini rela mati demi satu kata maaf,
memperbaiki kesalahannya dengan memperlakukan wanita itu bak putri raja,
menomor satukan kebahagaiaan wanita itu di atas segalanya, lalu pergi begitu
saja di kemudian hari, melupakan segalanya, seolah mereka tak pernah saling
kenal?
“Just…
Give me one more chance…”
Pria itu berbisik dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki setelah
semuanya habis demi melawan rasa dingin yang menggerogoti tubuhnya.
Mungkin tak hanya pada lelaki itu, rasa dingin dari derasnya hujan juga
telah membekukan seluruh fungsi tubuh wanita itu sehingga ia lupa bagaimana
caranya merespon permohonan itu.
“Kumohon,” pinta lelaki itu lagi. “Biar kutebus semua dosaku padamu kali
ini. Jika itu semua tak sanggup membuatmu memaafkanku, aku akan pergi dan tak
akan mengganggu hidupmu lagi.”
Wanita itu masih diam seribu bahasa, bagaikan manikin yang hidup.
Hatinya sudah ingin memeluk lelaki itu dan memaafkan segalanya namun logikanya
berusaha keras menahannya. Ia tak boleh lagi jatuh ke lubang yang sama. Sudah
cukup air mata yang habis terkuras untuk lelaki itu. Sekarang, sudah saatnya
wanita itu mendapatkan kembali senyumnya yang telah lama hilang.
“Pergilah.”
Wanita itu menatap lurus kedua mata yang selalu membuatnya tersesat
selama ini. Untuk beberapa saat, keheningan kembali hadir di antara mereka
sampai wanita itu memutuskan untuk menutup kembali pintu rumahnya.
Tepat di saat pintu rumahnya tertutup rapat, setitik air mata langsung
jatuh membasahi pipinya.
Sakit. Sakit sekali rasanya. Seolah dadanya baru saja dihantam meteorit
yang tak terbakar di atmosfer dengan keras.
Perih. Perih sekali rasanya. Seolah kepingan hati yang menusuk luka-luka
yang pernah ditinggalkan pria itu di kehidupannya di cabut satu per satu dan
membuatnya perlahan berdarah.
Mungkin…
Ia terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa kepingan itu tak akan ada
habisnya sehingga ia tak akan tau seberapa lama ia dapat menahan rasa sakitnya.
Dan sekali lagi cinta mengalahkan akal dan logika…
Wanita itu memilih untuk menancapkan kembali kepingan-kepingan hatinya
itu pada seluruh luka dalam hidupnya daripada harus berdarah.
“You fool!” umpatnya pada dirinya sendiri sebelum ia beranjak untuk
membuka pintu rumahnya lagi dan mengejar lelaki yang kini tengah berjalan pergi
menjauh itu.
Dengan erat, wanita itu langsung memeluk punggung lelaki itu. Di bawah
hujan yang masih deras mengguyur bumi, wanita itu mencari sebuah jawaban dari
pertanyaan yang selalu membelenggunya selama ini,
“Why it’s
always you?”
Maybe, just maybe…
You are the greatest allure in the universe
The vortex of the earth
The center of my world
The gravity
That will always keeping me down, no matter how I try to stand up high